Kalau mendengar nama Naruto, aku punya banyak alasan yang masuk akal
untuk melabelinya sebagai orang yang buruk. Aku tidak tahu kenapa,
padahal aku sadar kalau Naruto itu menyebalkan. Tapi, aku tidak bisa
jauh-jauh darinya. Belum lagi, soal hari ini. Aku jadi merasa sangat
bersalah.
Aku sedang menghadiri upacara pemakamannya di halaman
belakang rumah kediaman Uzumaki. Suasana yang mengharu-biru sungguh
membuat hatiku tak enak. Dia sudah menjadi sahabatku untuk waktu cukup
yang lama. Dan, aku merasa, setelah apa yang terjadi pada Naruto hari
ini, aku akan memaafkan semua kesalahannya.
Tentu saja, rentang
waktu tahunan itu bukanlah sekadar kejadian singkat. Selama itu kami
selalu bersama, tapi hanya sampai pada batas 'teman dekat'. Pertama, hal
itu terlihat masuk akal karena aku sadar, Naruto sedang menyukai
seseorang. Ia memang tidak bilang padaku siapa, tetapi feelingku
mengatakan bahwa dia adalah Hinata. Namun, saat kutanyakan langsung
kepada si yankee berisik itu, ia hanya tersenyum lebar, dan aku rasa jawabannya benar.
Kedua,
aku juga menyukai orang lain. Naruto yang membantuku untuk menjadi
dekat dengan orang itu. walaupun aku sadar, waktu itu ia menipuku. Dua
kali.
Ketiga, Naruto tidak terbuka olehku. Yang jujur saja, aku
merasa ada begitu banyak rahasia yang disembunyikannya terhadapku. Dan
saat itu, aku merasa seperti orang asing yang tidak bisa dipercaya
olehnya.
Saat ini aku sedang menunggu seseorang di persimpangan,
mendesah ditengah musim yang dingin. Padahal kami baru saja bertemu di
acara pemakaman, tapi ia memintaku untuk menemuinya di luar. Dan jadilah
aku memilih persimpangan ini, tidak terlalu jauh dari kediaman Uzumaki,
namun cukup aman untuk membicarakan sesuatu yang serius.
Dan ia datang dari arah yang sama denganku. Baru saja keluar dari tempat yang sama.
"Sakura.
Kau sudah disini?" ia sedikit berlari menghampiriku. Nafasnya terlihat
membeku. Tangannya menjinjing sebuah buku. Aku tidak tahu apa itu,
"Apa … yang mau kau bicarakan Sasuke-kun?"
"Ini, " ia menyerahkan buku itu, "Naruto menitipkannya padaku. Dia bilang, ini untukmu,"
"Oh,"
aku mengambilnya, penasaran. Sampulnya berwarna oranye cerah, dengan
gambar stiker ramen yang cukup besar. Aku mengernyitkan dahi.
"Sebenarnya, Naruto tidak mengatakan ini secara langsung. Tapi aku tahu, ia ingin kau yang menyimpannya,"
Kubuka halaman pertama dan seterusnya. Disaat yang bersamaan, aku merasa … gila.
Rahasia Naruto terungkap semua, disana.
"Sakura … sebenarnya, aku suka–" dan kalimat Sasuke membuatku semakin tidak percaya.
.
.
.
Title : Pembohong Dari Surga
Genre : Drama/Romance
Rate : T
Warning : OOC, AU, Sakura POV, Naruto POV, Dedicate to DMAC, DLDR
Summary : Ia sering berbohong. Dan aku menyukainya. Tapi itu semua sudah terlambat.
Theme : Heaven
oOo
Daylight Midnight Alliance Challenge 2011-2012
Naruto © Masashi Kishimoto
oOo
.
.
.
Waktu
itu dimusim panas, aku mengenalnya. Dia orang pertama yang bersikap
kurang ajar padaku. Padahal kami hanya sebatas teman satu kampus dan ia
berani mengomentari dandananku yang katanya seperti pemain kabaret
ataupun badut.
Aku jengkel.
Waktu itu aku memang sedang
mengenakan rok diatas lutut dan berlipit-lipit. Warnanya pink cerah,
sengaja kusamakan dengan warna rambutku. Kausku berwarna oranye, dengan
kardigan merah. Hari itu aku ingin menarik perhatian si bocah Uchiha
yang baru saja pindah ke tempat kuliahku. Aku sengaja tampil dengan
warna yang mencolok dan rok yang menggoda agar mata onyx yang pekat itu
menoleh padaku. Tapi apa yang kudapat? Malah komentar tidak mutu dari si
yankee kurang ajar itu.
"Hari ini … kau terlihat jelek Sakura-chan," dahiku sudah berkerut, "Rok seperti pemain sirkus, warna-warna yang mencolok mata. Kau terlihat … tidak stylish seperti biasanya,"
"Oh yeah? Kau tau apa soal gaya, Naruto?" tanyaku ketus. Ia nyengir tanpa dosa.
"Hei,
aku ini laki-laki tahu. Dan pemikiranku ini pasti seratus persen sama
dengan laki-laki lainnya di muka bumi. Kalau kubilang jelek ya jelek.
Kau itu lebih cocok dengan pakaian kasual dan warna-warna pastel. Kau
tau kenapa? Karena rambutmu itu sangat mencolok," aku mengakhiri
ocehannya dengan satu tinju yang mengarah pada wajah Naruto. Aku terima
kritikan itu, tapi aku tidak suka jika ia terlalu … mudah untuk
berbicara tentang jelek atau tidaknya aku. Bahkan, ia tidak peka dengan
perasaan gadis-gadis yang sangat sensitif jika fisiknya disinggung,
"Dan satu lagi … kakimu itu gemuk. Jangan dipajang-pajang deh,"
"BRENGSEK kau Naruto!" aku benar-benar menghabisinya saat Naruto berbicara enteng soal kakiku.
Gara-gara
dia, semalaman aku berdiri mematung didepan kaca, dan memerhatikan
kakiku dengan seksama. Aku jadi cemas soal penampilanku. dan keesokkan
harinya, aku sungguh berpakaian sekenanya dengan kaus putih bergambar,
dan celana jeans berwarna biru tua. Dan ia tersenyum puas melihatnya.
"Ini baru yang namanya cantik," aku menggemerutukkan gigiku saat itu. bagiku, kalimatnya yang barusan terdengar seperti ironi.
Selain kurang ajar, Naruto juga tidak tahu diri.
Suatu
hari masih di musim panas, kami (entah bagaimana bisa) pulang bareng.
Dia seperti biasa, berjalan di sampingku, dengan tampang bodohnya yang
tiada tara. Pada hari itu, dengan entengnya ia mengambil tas
selempangku, "Sakura-chan~ kita tukeran yaa," ia menyerahkan ransel hitamnya yang terlihat berat. Sementara tasku dibawanya begitu saja.
Dalam hati, aku jengkel.
Apalagi ini adalah masa PMS-ku. Rasa kesalku menjadi double.
"Ugh, Naruto! Kenapa harus tukeran segala sih!" ia menggaruk pipinya dengan telunjuk dan memasang tampang se-Innocent anak anjing.
"Pundakku pegeel. Nanti aku traktir minum deh. Ya? ya?"
Aku kalah dengan ekspresinya yang memelas itu.
Entahlah,
aku sendiri juga tidak tahu kenapa aku bisa sebodoh ini. Mau-maunya
disuruh Naruto untuk membawakan ranselnya. Harus kuakui, dia memang tahu
bahwa aku memiliki tenaga berlebih, seperti kuli. Tapi, beginikah
caranya memperlakukan seorang gadis? Aku merasa … ditertawakan.
"O-Oi!
Kau nggak pulang? Ngapain ikut naik bus?" kulihat Naruto yang
mengikutiku dari belakang. Pertamanya ia terlihat berpikir. tapi,
tiba-tiba saja tertawa keras.
"Tasku kan masih kau gendong,"
astaga, itu benar.
"Dan aku belum nraktir Sakura-chan minum,"
oh iya, soal traktiran itu.
"Lagipula … rumah kita kan searah,"
Sekarang, aku bengong.
Aku tidak tahu kalau kami tinggal di daerah yang sama. Satu tahun bersamanya dan sekarang, aku malah baru tahu.
"Habisnya,
aku tidak pernah melihatmu kalau berangkat kuliah. Jadi yaa …
begitulah," aku berdalih. Tapi memang kenyataannya begitu. Naruto hanya
bisa nyengir saat itu.
Sepuluh menit berada didalam bus, rasanya
begitu singkat. Kami turun di sebuah blok dan menghampiri tukang es yang
ada di pinggir jalan sebelum pulang ke rumah. Sesuai janji, Naruto
memang menraktirku. Rasa amarahku berkurang karena ia membelikanku es
rasa mint yang kadar gulanya rendah.
"Limaratus ryo nak,"
"Ini
paman. Terimakasih ya!" perjalanan masih dilanjutkan. Naruto
sungguh-sungguh mengantarku sampai didepan pagar rumahku sendiri, "Oke,
kita sudah sampai," ia mengembalikan tasku dan meminta tasnya kembali,
"Sampai jumpa Sakura-chan!"
Sumpah, aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang ada di otak Naruto saat itu.
Selain kejadian itu, aku juga ingat bahwa Naruto sangat jorok sekali. Pernah suatu ketika, saat kami sedang study tour,
mengelilingi Kyoto. Entah bagaimana caranya, lagi-lagi tuhan
memasangkan kami menjadi satu kelompok. Dan ketika waktu bebas datang,
bocah berambut pirang itu justru malah mengikutiku.
"Sakura-chan!
Bareng ya!" jujur saja, aku merasa risih. Aku ingin waktu bebas ini
digunakan untuk jalan-jalan dengan Sasuke. Tapi, ada daya, aku tidak
mungkin meninggalkan Naruto begitu saja. Awalnya semua berjalan lancar,
hingga suatu ketika, aku mendadak ingin buang air kecil. Kepalaku
celingukan mencari toilet, tapi, disepanjang mata memandang, yang ada
hanyalah toko-toko jimat dan aksesoris kecil.
Aku panik.
"Sakura-chan?
Kau kenapa?" aku terpaksa bohong. kepalaku menggeleng. Mati-matian aku
menahan agar kantung kemihku tidak jebol, "Ah, kau mau muter kemana
lagi? Atau kau ingin beli sesuatu?" lagi, kepalaku menggeleng. Aku ingin
cepat-cepat balik ke tempat Hinata dan Ino. Kemudian meminta mereka
berdua untuk menemaniku buang air kecil.
"Aku sudah cukup Naruto," ucapku, tergesa. Suaraku terdengar seolah ingin cepat pergi dari sana.
"Ooh, padahal masih ada waktu limabelas menit lagi," ia mengeluh, pelan. Naruto tidak tahu penderitaanku saat ini. Memang sial.
"Sudahlah Naruto … aku mau balik," pintaku, mulai memaksa. Kakiku berbalik menuju jalan pulang, tetapi tangan Naruto mencegatku.
"T-Tapi Sakura-chan, temani aku dulu. Sebentaaar saja,"
"Aduuuh! Memangnya kau mau kemana lagii!"
"Aku sakit perutt … mau buang air besar. hehe! Temani aku cari toilet ya? ya? yaaa?" ia kembali memohon. Matanya penuh dengan blink-blink ala komik shoujo.
Betapa kebetulannya saat itu.
Kami
berlari mencari satu restoran yang menyediakan WC. Lima menit, aku
menahan, dan akhirnya kami dapat tempat itu. disebuah kedai dango.
"Mungkin, aku bakal sedikit lama didalam. Tapi … Sakura-chan tunggu saja sambil minum atau makan,"
"Tidak
perlu! Sudah sana cepat!" perintahku berteriak, sambil mendorongnya ke
depan pintu toilet laki-laki. Setelah memastikan bahwa Naruto sudah
masuk ke dalam toilet, cepat-cepat aku masuk ke toilet yang lainnya
untuk buang air kecil.
"Fiuh …"
Cepat-cepat aku bereskan urusanku dan keluar dari toilet sebelum Naruto yang keluar dari toiletnya.
.
.
oOo
.
.
Bulan September telah datang. Itu artinya musim gugur. Dedaunan maple
berjatuhan seperti salju. Udara di sekitar tempat kuliahku juga mulai
terasa dingin nan beku. Orang-orang diluar sana mulai mengenakan pakaian
tebal mereka.
Begitupun juga aku. Saat ini, aku sedang mengobrol dengan Hinata di cafeteria. Untuk pertamakalinya, ia membuka topik pembicaraan yang sangat berbeda pada umumnya.
"Em … S-Sakura-chan,"
"Ada apa Hinata?"
"K-Kemarin,
a-aku dapat email dari N-Naruto," ucapnya sambil memainkan jari.
Wajahnya terlihat memerah, daripada yang biasanya, "S-Sepertinya … d-dia
terlihat sangat … ramah," Hinata bercerita banyak tentang Naruto. Dan
itu tiada habisnya, "D-dia suka cokelat pahit. K-katanya saat natal, ia
ingin … k-kubuatkan,"
Aku tersenyum lebar mendengar ceritanya.
Rasanya asik sekali jadi Hinata. Perasaannya bersambut. Sementara aku
dengan Sasuke? Belum ada kemajuan yang signifikan. Dan ini sangat
membosankan.
Pulang sekolah, langsung saja kusambar Naruto
dikelasnya. berhubung ia teman dekat Sasuke, sudah pasti aku akan
berdempet ria dengannya asalkan dapat segala informasi tentang Sasuke.
"Oh
… email Sasuke? Kemarikan ponselmu," ia mengetikkan sesuatu pada
ponselku dan menunjukkan layarnya kemudian, "Ini alamatnya. Ingat
baik-baik yaa," kemudian tersenyum lebar.
Malamnya, tanpa kenal malu aku beranikan diri untuk menyapa Sasuke duluan.
Selamat malam Sasuke-kun. Aku dapat nomormu dari Naruto XD -Sakura Haruno-
Aku
menunggunya dengan deg-degan saat pesan itu terkirim. Awal mula, aku
ingin menanyakan soal trigonometri supaya tidak terlalu mencurigakan.
Tapi aku sadar, bahwa jurusanku dengan Sasuke sangatlah berbeda dan
tidak ada gunanya membicarakan soal pelajaran.
Kau … Sakura? Ada perlu apa?
"KYAAA! DIBALASS!"
Pesan singkat itu membuatku gelitingan di kasur. Rasanya senang sekali.
Sejak
saat itu, aku sering SMS-an dengannya. Sasuke menceritakan banyak hal
tentangnya. Dan aku menjadikan Naruto sebagai tampungan curhatku.
Anehnya, Naruto sangat pandai untuk memberikan saran yang sugestif
supaya Sasuke mau meresponku lebih.
"Nunggu ditembak? Kau ini tipe gadis kuno ya …" Naruto tertawa sambil memukul bahuku. Pipiku menggembung kesal,
"Lalu apa? Aku yang harusnya duluan nembak Sasuke?" kepala jabrik itu mengangguk pasti.
Memang sedikit meragukan. Tapi aku coba, untuk nekat lagi.
Sasuke-kun? Lagi apa? -Sakura-
.
Entahlah. Tiduran dikasur, dengerin musik, mungkin?
.
Ah … sama sepertiku. Aku juga lagi nggak ngapa-ngapain. Hehe (lol)
oh iya Sasuke-kun … aku mau memberitahukan sesuatu. Tapi jangan ketawa ya?
oh iya Sasuke-kun … aku mau memberitahukan sesuatu. Tapi jangan ketawa ya?
.
Hn. Ada apa?
.
Aku suka kamu
Send. Email itu terkirim dengan cepatnya. Aku mengetik tombol send tanpa adanya perintah dari otakku,
"Aaa … aku takutt!" sekujur tubuhku merinding saat deringan dari ponselku terdengar.
Maaf Sakura … aku tidak bisa menerimamu karena, aku bukan Sasuke
Hening. Atmosfir disekitarku langsung gelap mendadak.
Apa maksudnya ini?
Apa maksudmu? Kau … jangan-jangan, NARUTO ya!
.
Aahhh … kau tahu? Maafff, aku nggak bermaksud menipumu. Aku cuman bercandaa … hehe! #peace
Bercanda dia bilang? Dia benar-benar menginjak rendah harga diriku.
Maaf ya Sakura-chan. Aku nggak bermaksud. Sungguh.
Satu
minggu aku seperti orang bodoh, berteriak-teriak kegirangan, karena
kukira Sasuke-lah orang yang sedang kukirimi email. Namun, di saat-saat
terakhir seperti ini, Naruto malah bilang, kalau itu alamat email
keduanya dan ia sedang menggodaku.
Benci.
Aku benci Naruto sejak saat itu.
Aku
marah padanya. Melakukan perang dingin yang berkepanjangan. aku sengaja
menghindari Naruto, dan mengabaikan SMS permintaan maafnya yang sudah
tak terhitung. hingga duabulan berlalu dan musim salju datang. Aku masih
belum berbicara juga dengannya. Naruto kelihatan mulai menjauhiku juga.
Tapi
suatu ketika, Sasuke datang mengunjungi kelasku. Anak-anak dikelas
banyak yang kaget dengan kemunculannya, "Sakura. Aku perlu berbicara
denganmu," ia menarikku keluar kelas, dan memojokkanku di suatu tempat.
Matanya begitu tenang. Wajahnya tak bisa ditebak.
"Kau senggang?"
"H-Hah?"
"Pulang sekolah … kau senggang?"
"E-eh yaa, begitulah. Ada apa?"
"Temui
aku di perempatan blok A. Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu,"
Sasuke pergi setelah mengucapkan itu. dalam hati aku bertanya-tanya. Aku
sadar kalau Sasuke adalah sahabat dekat Naruto. Jadi, perasaanku
mengatakan bahwa Sasuke akan membicarakan sesuatu yang berhubungan
dengan Naruto.
Tetapi, dugaanku salah. Meleset jauh.
pada
saat senja datang, nyatanya si rambut raven dengan warna senada tinta
tidaklah muncul. Yang aja justru, seonggo pria rambut pirang mencolok
dengan kulitnya yang kecokelatan. Ia tersenyum khas, begitu lebarnya
saat wajahku menghadap kepadanya.
"Sakura-chan … lama tidak jumpa," tatapannya terlihat seperti 'aku-bersalah-maafkan aku'. Dan itu membuatku semakin merasa muak kepadanya. Seolah-olah jadi terlihat bahwa akulah yang jahat.
"Mana Sasuke-kun? Kenapa malah kau yang datang?" nada suaraku terdengar ketus. ia terlihat memalingkan mukanya. Benar-benar cara yang klasik.
"Sasuke
takkan datang. Aku yang menyuruhnya untuk memanggilmu kemari," kalau
saja ini bukan dijalanan, aku pasti sudah meneriakinya dengan sebutan 'dungu sialan!'.
"Mau
apa lagi? Belum puas menghinaku? Kau sudah menipuku dua kali lho … yang
pertama, soal email. Lalu … ini," aku menunjuk tempat janjianku di
perempatan gang.
"Kau … masih marah padaku?"
"Masih?" tanyaku sarkastik, "Oh, aku tidak marah padamu. Aku hanya … sudah tidak peduli. Itu saja," tambahku kasar.
"Sakura-chan … aku tidak tahu kalau kau sekesal itu. maafkan aku,"
"Kau
tidak tahu? Kau memang tidak pernah peduli. Kau menganggapku apa sih?
Mainan? Kau bisa bersikap manis kepada Hinata, ramah kepada Ino, patuh
kepada Tenten-nee. Tapi kenapa sih, kau selalu bersikap
menyebalkan didepanku? Bikin muak," aku mengeluarkan semua uneg-unegku
disana. Lagi-lagi Naruto hanya bisa menjadi pendengarku. Membiarkanku
melepaskan semuanya, "Kau jahat Naruto. Kau tahu tidak? rasanya aku
ingin bunuh diri saat tahu kalau kau sedang menyamar jadi Sasuke dan
SMS-an denganku. Aku maluuu tahu! Aku malu!,"
"Maaf, Sakura-chan,"
"Hentikan panggilan itu! kita bukan teman lagi!"
"Sakura,"
matanya mulai berkaca-kaca, "Aku tidak mau terus-terusan dimusuhi
olehmu. Aku juga tidak bermaksud mengerjaimu. Aku hanya–" kalimatnya
terputus. Ia diam sejenak.
"Hanya apa! Masih mau beralasan, HAH!"
"J-Jangan benci … aku,"
Apa? Dia menyuruhku untuk datang kesini dan mendengarkannya berbicara konyol?
"DALAM
MIMPIMU!" aku pergi meninggalkannya begitu saja. Malam hari, salju
turun menghiasi Konoha. Pikiranku mulai mengawang jauh.
Dan esoknya, berita itu muncul. Naruto kecelakaan. Mereka bilang, ia dirampok dijalan.
Aku
benar-benar tak habis pikir, kenapa aku tidak mempunyai firasat apapun
tentang kematiannya. Dan saat aku diundang ke acara pemakamannya, aku
baru tahu, kalau dia berbohong kepadaku sebanyak tiga kali. Dan yang
ketiga itu adalah tentang tempat tinggalnya.
.
.
oOo
.
.
Aku sudah memasuki dunianya sejak lama. Dia selalu ada dimataku saat rambut pink-nya
yang mencolok melintas didepanku. Mataku selalu mengekori kemanapun dia
pergi. Tak peduli dicaci-maki, aku akan tetap menyukainya.
Suatu
hari kulihat Sakura berpakaian sangat mencolok dengan rok mini diatas
lutut. Semua anak cowok di kampusku langsung saja membicarakan sosoknya
dan terlihat bersemangat. topiknya tidak jauh dari masalah kaki, rok
mini, dan mulusnya kulit susu Sakura.
Mendengar hal itu semua, aku merasa jengkel.
Aku
tidak mau Sakura menjadi bahan tontonan, apalagi bagi anak-anak mesum
itu. Itulah sebabnya, aku sengaja menjelek-jelekan penampilan Sakura
agar dia menjadi kapok. Yeah, aku tahu saat itu dia terlihat
sangat marah. Apalagi saat kukatai betis kakinya, besar. Sakura langsung
saja menonjokku dan pergi meninggalkanku. Tapi keesokkan harinya, ia
sungguh mengubah penampilannya itu. dan sekarang, ia hanya mengenakan
setelan kaus biasa dengan celana jeans panjang. Melihatnya yang begitu,
aku memujinya 'cantik' secara spontan. Tapi, sepertinya Sakura tidak
percaya dengan apa yang kukatakan.
Well, tidak apa-apa.
Aku tidak keberatan.
Kembali,
kudengarkan dengan seksama anak-anak di kampus yang membicarakannya.
Mereka berhenti dengan topik 'kaki mulus' Sakura dan beralih pada
cewek-cewek lain yang sedang gencar mengenakan pakaian minim. Saat itu,
aku merasa lega. karena Sakura tidak lagi dijadikan objek perbincangan
mereka.
"Fiuh … "
Lalu oh, ada lagi.
Waktu itu kami sedang pulang bareng. Saat itu aku merasa ada yang aneh pada rok yang dikenakan oleh Sakura. yeah,
dia kembali mengenakkan rok, tapi setidaknya, tidak sependek dan
semencolok yang dulu ia kenakan. Warna rok itu biru laut. tetapi, ada
warna lain, yang terpampang dibagian belakangnya.
Sedetik saja
melihat, aku langsung tahu, bahwa itu adalah warna darah. Sakura sedang
PMS, kurasa darah haidnya tembus. Dan ia belum menyadarinya.
Aku
melihat ke sekeliling, saat itu kupastikan belum ada orang yang melihat.
Buru-buru kuambil tas selempang Sakura, dan menyuruhnya untuk
mengenakan tas ranselku yang besar agar sesuatu yang 'tembus' itu
tertutupi.
"Kita tukeran tas yaa!"
Awalnya, kulihat ia terlihat menolak. Wajahnya sangat kesal, apalagi ia tahu bahwa tasku tidak lebih ringan daripada miliknya.
"Kau
lemah Naruto. Masa segini aja minta bantuanku sih!" ia menggerutu di
sepanjang jalan. Oleh sebab itu aku berjanji akan menraktir Sakura es
atau minuman.
Kau tahu, lima ratus ryo-ku habis untuk
membelikannya semangkuk es dengan kadar gula rendah. Aku tahu, wanita
itu sedang diet mati-matian gara-gara kukatai kakinya gemuk (padahal,
Sakura itu langsing. Aku sendiri juga tidak mengerti dengan keinginan
wanita yang selalu berdiet mati-matian). Jujur saja, harga es itu dua
kali lipat dari harga es yang lain. Terlebih, uang itu adalah uang
terakhirku yang bisa kugunakan untuk pulang naik bus.
Naik bus?
Well, sebenarnya begini.
Aku berbohong soal rumah yang satu komplek.
"Sudah ya Sakura! Sampai jumpa,"
Aku
tidak tinggal di komplek matahari, sepertinya. Aku bahkan tidak tinggal
di daerah situ. Setelah mengantarnya sampai benar-benar dirumah, aku
terpaksa pulang dengan modal sepasang kaki. Lumayan jauh. Butuh waktu
satu jam untuk menempuh perjalanan pulang.
Dan anehnya, aku tidak
pernah kapok karena hal itu. setiap hari, kuusahakan untuk mengirit uang
jajan agar bisa pulang bareng dengan Sakura. Kadang-kadang, aku bisa
balik dengan naik bus (kalau Sakura tidak mengajakku makan atau
menraktirnya). Tapi, kadang-kadang juga aku harus jalan kaki. Semua itu
aku relakan hanya karena ingin terus berada di sisinya.
Itu saja.
Aku memang tipe orang yang simpel dan sederhana. haha
.
.
oOo
.
.
Kemudian
saat darmawisata itu tiba. Aku sengaja menyuruh si malas Shikamaru
untuk memasang undian agar aku bisa satu kelompok dengan Sakura.
Walhasil, ia membantuku dan pada saat waktu bebas, aku benar-benar
selalu ada disampingnya. rasanya menyenangkan.
Tapi, pada suatu waktu, kulihat wajah Sakura yang mulai aneh. ia terlihat menoleh kesana-kemari. seperti, mencari sesuatu.
"Kau kenapa Sakura-chan?"
ia tidak mau mengaku. Tapi tangannya sedikit bergetar dan kakinya tak
mau berhenti bergerak. Dia terlihat seperti menahan sesuatu. Apalagi
dari nada suaranya yang ingin cepat-cepat balik.
"Tidak apa-apa,"
"Ooh, padahal masih ada waktu limabelas menit lagi,"
Saat kukatakan begitu, Sakura menjadi lebih kesal dan tidak sabaran dari yang sebelumnya.
"Sudahlah Naruto … aku mau balik,"
Wajahnya
kembali menampakkan mimik yang aneh. Aku ingin tertawa tapi itu akan
membuatnya tersinggung. Jadi, aku akan berpura-pura tidak tahu.
"Oke, oke … tapi, temani aku ke satu tempat yaaa? Sebentaar saja,"
Karena
ia tetap bersikukuh tak mau jujur, akhirnya kukatakan saja bahwa aku
ingin buang air besar. Aku sengaja berbohong supaya aku bisa
mengantarnya ke toilet tanpa harus membuatnya gengsi. Aku juga sengaja
mengatakan padanya kalau aku akan lama dikamar mandi. Setelah itu aku
akan menunggunya dari dalam toilet hingga ia selesai dengan urusannya.
lalu aku akan menyusulnya keluar, setelah ia telah keluar beberapa menit
dari toiletnya. ini semua kulakukan agar supaya ia tidak curiga padaku.
Ah, aku memang pembohong yang ulung.
"Lama nunggu ya? hehe. Kau tidak memesan minuman atau cemilan apapun Sakura-chan?"
"Tidak,"
wajahnya terlihat sedikit tenang, "Ayo pergi. Yang lain pasti sudah
menunggu," ia memalingkan mukanya dan berjalan mendahuluiku.
"T-tunggu Sakura-chan!" aku mengejarnya dari belakang. Dalam hati aku senang, Sakura tidak menyadarinya.
.
.
oOo
.
.
Suatu hari, Sasuke menemuiku untuk meminta saran.
Ini
sangat mengejutkan, dan baru kali ini orang macam dia mau mendiskusikan
sesuatu yang sangat tidak … logis. Seperti, perasaan.
"Dobe. Aku mau minta nomor temanmu,"
"E-Eh? Siapa? Tumben," ia menunjuk seorang gadis dengan matanya. Gadis itu sedang membaca bukunya di pojok sudut cafeteria.
Namanya, Hinata Hyuuga.
"Kau … sungguh tertarik dengan kutubuku sepertinya?"
"Diamlah!
Berikan saja padaku nomornya!" wajahnya sedikit menahan gengsi. Aku
rasa jatuh cinta itu wajar. Kalau saja, Sasuke berpikir seperti itu, ia
tidak perlu berwajah mirip bak tomat ranum saat ini.
"Hehe," reaksiku hanyalah menertawainya.
"Jangan cengengesan dobe. Wajahmu jelek sekali," aku melotot tajam padanya yang sibuk men-save nomor Hinata, "Hei, aku boleh jual namamu sebentar kan?"
"HAH? M-maksudnya?" sumpah demi apapun, perkataan Sasuke yang saat itu membuatku bingung.
"Untuk
sementara aku akan mengaku sebagai dirimu, Naruto," awalnya aku tidak
terima. Bagaimana jika Sasuke bertindak konyol didepan Hinata? (meskipun
lewat message aku tetap tidak rela di jadikan bomerang olehnya).
Tapi, si egois Uchiha itu tetap saja bersikeras.
"baiklah, baiklaah … Tapi dengan satu syarat,"
Aku terpaksa menyetujui permintaannya dan sebagai gantinya, dia memperbolehkanku pedekate dengan Sakura, menggunakan namanya.
"Oh
… email Sasuke? Kemarikan ponselmu," dan saat Sakura meminta alamat
email Sasuke, yang kuberikan kepadanya justru alamat emailku yang lain,
"Ini alamatnya. Ingat baik-baik yaa,"
Sejak saat itu, aku jadi
sering SMS-an dengan Sakura. Banyak hal yang kubicarakan. Begitupun
dengan Sasuke, ia juga menceritakan banyak hal tentang Hinata dan sering
mendiskusikan perasaannya padaku. Salah satunya soal makanan kesukaan,
"APA? K-Kau ngaku pada Hinata kalau aku suka cokelat pahit? Yaiks! Bagaimana jika pada saat hari Eve dia sungguh-sungguh memberikan cokelat pahit itu padaku!"
"Kau
tidak perlu khawatir sampai sejauh itu," Sasuke menyeringai (menurutku
itu lebih tepat disebut sebagai seringai daripada senyuman), "Akan
kupastikan bahwa Hinata sudah menjadi milikku sebelum hari Eve tiba,"
Cih! dasar orang narsis.
Kuakui ia memang tampan (Kalau dibandingkan denganku, akulah yang tertampan), tapi tetap saja … narsis.
"Suka-suka kau sajalah …"
Well, aku sendiri juga narsis sih …
.
.
oOo
.
.
Hingga
hari yang kutakuti datang. Aku berjanji pada Sasuke, begitupun dia
sendiri, jika Sakura atau Hinata menyatakan perasaan mereka, kami harus
mengaku bahwa itu bukanlah kami. Dan benar saja, Sakura sungguh-sungguh
mengakui perasaannya kepada Sasuke lewat pesan. Yah, memang benar kalau
akulah yang menyarankannya untuk nembak Sasuke. Tetapi, aku tidak tahu
kalau Sakura akan menjadi senekat itu.
Maaf Sakura … aku tidak bisa menerimamu karena, aku bukan Sasuke
Rasa
bersalah mulai menyelimuti perasaanku saat Sakura tidak membalas SMS
itu. bahkan sampai seterusnya, ia terlihat mengajukan perang dingin dan
menghindariku terus. Aku tidak betah karena dalam dua bulan, aku sama
sekali tidak bisa berbicara dengannya. jangankan berbicara, bertatap
wajah saja rasanya Sakura sudah jijik duluan. Karena itu, lagi, aku
meminta Sasuke agar menyuruh Sakura secara langsung untuk menungguku di
perempatan jalan.
Awalnya aku ragu kalau harus menemui Sakura setelah sekian lama. Tapi, aku juga tidak mau merasa ganjil seperti ini.
Dan
benar saja, saat Sakura tahu bahwa akulah orang yang ternyata ia temui,
ia kembali bersikap sarkas. Dan aku memaklumi hal itu.
"Maaf, Sakura-chan,"
"Hentikan
panggilan itu! kita bukan teman lagi!" jantungku terasa disentil.
Jangankan bersambut, aku bahkan tak dianggapnya teman lagi.
"Sakura,"
aku rasa ini adalah batasku. Kemungkinannya memang kecil. Bahkan akan
sangat beresiko jika menyatakan cinta disaat yang seperti ini. Tapi, aku
tidak bisa apa-apa lagi karena kata 'maaf' sudah tidak diterima
olehnya, "Aku tidak mau terus-terusan dimusuhi olehmu. Aku juga tidak
bermaksud mengerjaimu. Aku hanya–" belum sempat aku berbicara tuntas,
sesuatu yang kecil dan pedih meluncur cepat, menembus tulang belakangku.
JLEB
Aku tidak tahu darimana asalnya dan bagaimana itu bisa terjadi.
Tapi aku tertembak oleh peluru nyasar yang dimuntahkan dari senapan anti suara.
"Hanya apa! Masih mau beralasan, HAH!"
Sakura
kelihatannya belum menyadari keadaanku. Dan aku tak ingin membuatnya
berlama-lama di tempat itu. Aku ingin membuat Sakura segera pergi,
sebelum ada sesuatu yang lebih buruk diketahui olehnya.
"J-Jangan benci … aku,"
Dan
kalimat itu saja yang bisa kuucapkan. Sakura terlihat sangat marah
padaku. Aku mulai menutupi punggung belakangku dengan telapak tangan
kiri. Bisa kurasakan darah itu mengalir.
"DALAM MIMPIMU!"
Syukurlah, setelah berhasil menamparku, ia pergi dari tempat itu.
tak
lama berselang, suara ponselku berdering, dan aku hanya sempat membaca
pesan itu sesaat sebelum tubuhku ambruk. Yang kuingat adalah, pernyataan
bahagia Sasuke dan … suara kegaduhan dari belakangku. Sekelompok
perampok berseragam hitam berlari mendekat. Pikiranku mulai kacau. Aku
takut jika Sakura tersusul dan bertemu mereka. Jadi kuusahakan untuk
menghambat walaupun hanya sebentar.
Namun, ternyata sia-sia.
Perampok
itu bersenjata. Semuanya. mereka menembakku secara bertubi-tubi,
kemudian pergi begitu saja. Dan tak beberapa lama kemudian, gaungan
suara mobil polisi terdengar membahana. Disusul oleh suara ambruk dan
teriakan 'angkat tangan' yang tidak terlalu jauh dariku. Syukurlah,
disaat terakhir, aku bisa memastikan bahwa Sakura tidak apa-apa.
Lalu, kenanganku berhenti sampai disini.
Naruto, aku sudah mengaku pada Hinata dan ia memaafkanku. -Sasuke-
Ini adalah, hari terakhirku untuk bertemu dengan Sakura.
Sedikit
menyesal memang. Aku belum sempat mengaku padanya, lalu … kepada Sasuke
juga. Aku belum sempat membalas pesannya dengan kalimat 'syukurlah. Kau enak sekali. Aku jadi iri'.
Lalu … aku belum sempat berbaikan dengan Sakura, dan mengajaknya pergi
ke festival untuk kencan. Padahal aku sudah merencanakannya semua. Sejak
awal.
Tapi ah … mau bagaimana lagi. Ini memang bukan hari keberuntunganku.
.
.
oOo
.
.
"Sakura
… sebenarnya, aku suka … Hinata," Sasuke mengakui itu padaku. Rasanya,
benar-benar membuatku syok, "Aku dan Naruto hanya bertukar peran. Ia
mendekatimu dengan menggunakan namaku dan aku sebaliknya. Lalu–" aku
menelan ludah saat ucapan Sasuke mengambang, disana, "Hari ini, aku
resmi jadian dengan Hinata,"
Lututku mati rasa.
Bukan, bukan karena aku kaget dengan Sasuke yang berstatus pacaran saat ini. Bukan.
Aku
hanya tidak menyangka, bahwa selama ini, bocah pirang itu
menyembunyikan semua kepeduliannya padaku. Ia terlihat menyebalkan
diluar. Padahal, diam-diam ia menjagaku dari sana. Aku tidak percaya ada
orang yang tahan berbuat baik tanpa orang yang dibantunya atau
ditolongnya itu tahu.
Aku tidak percaya ada orang semacam Naruto.
"Sakura … " Sasuke menepuk bahuku pelan. Aku hargai rasa simpatiknya saat itu.
Tapi tetap, aku tidak bisa apa-apa.
Aku
hanya bisa terduduk lemas, dan berurai air mata di tengah tumpukan
salju. Naruto tidak membohongiku tiga kali. Ia selalu berbohong padaku.
"N-Naruto …"
Tangisanku pecah.
Kenapa, aku bisa sebodoh ini?
Kenapa, aku tidak menyadarinya sejak awal?
.
.
.
Satu pesan diterima,
Aku menyukaimu.
-Sakura-
FIN
A/N : Yosh, ini fic NaruSaku saya yang kedua. terakhir nih XD Hehe! bagaimana dengan yang ini? Semoga kalian suka XD
Hot regards
Fujisaki Fuun a.k.a Fuun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar