Rabu, 09 Mei 2012

Black and White



Hinata berjalan santai menuju suatu tempat yang sudah sejak dulu menjadi tempat favoritnya, tempat latihan tim tujuh, tempat dimana Naruto menghabiskan waktunya untuk latihan, dan ia -Hyuuga Hinata akan senang berada di tempat itu walau hanya sekedar memandangi pemuda berambut cerah tersebut.
Warna putih mendominasi pemandangan saat itu, dan meski salju nampak tebal dimana-mana, hal itu sama sekali tidak mengurangi keceriaan Hinata saat membayangkan dirinya berada sangat dekat dengan sosok Naruto yang tengah latihan.

Wanita berambut indigo itu lantas melirik pada sebuah bungkusan yang sejak tadi ditentengnya, bento buatannya khusus untuk Naruto. Sudah beberapa bulan ini Hinata memberanikan diri untuk membuatkan Naruto sebuah bekal, dan ia merasa sangat bersnyukur karena pemuda itu mau menerimanya.

"Aww! Naruuutoo! Saiii! Sudah berapa kali kubilang, jangan memasuki daerah latihanku dengan Ino. Kalian dengar tidak?"

"Go-gomen , Sakura-chan. Sai mendorongku terlalu keras, jadi aku ti-"

"Apapun itu, sekarang lanjutkan saja latihan kalian. Ingat! Jangan memasuki daerah latihan kami!"
Hinata tersenyum miris pada pemandangan yang akhir-akhir ini sudah terasa familiar di matanya, Naruto yang tanpa sengaja mengenai tubuh Sakura saat kunoichi berambut merah muda tersebut tengah latihan, dan berakhir dengan kemarahan Sakura.

Tidak terasa aneh memang, mengingat Sakura termasuk anggota tim tujuh dan ia berhak berada di tempat latihan itu. Hanya saja... apa kalian tahu? Meski hutan sederhana ini merupakan tempat latihan tim tujuh, hanya Naruto sajalah yang selalu berada di tempat ini untuk latihan -terkadang pemuda itu juga ditemani oleh Sai. Baru dua minggu belakangan ini Sakura muncul di tempat ini dengan membawa ketiga anggota tim sepuluh -Ino, Shikamaru dan Chouji bersamanya dengan alasan latihan bersama.

Tidak, Hinata tidak pernah mempermasalahkan kehadiran Sakura di tempat ini. Ia sudah belajar tentang bagaimana seorang wanita mendapatkan kepercayaan dirinya, dan ia tetap akan membuatkan Naruto bekal tiap harinya meski ada orang lain yang melihat -sebelum ini sama sekali tidak ada yang melihatnya. Hanya saja, kehadiran Sakura seolah menutupi keberadaannya. Naruto yang memang tidak pernah mengalihkan perhatiannya padanya kini seolah makin tidak peduli dengan keberadaannya, dan semua itu karena kehadiran Sakura di tempat itu, Sakura yang merupakan kunoichi cantik pujaan hati Naruto.

"Hinata, kau datang lagi ya? Wah, lagi-lagi membuatkan Naruto bekal!" Ino menyapa Hinata saat mata aquamarine miliknya menemukan sosok Hinata berdiri tidak jauh dari tempat latihan mereka, gadis itu memberikan seulas senyum tulus yang tentunya dibalas dengan senyum tulus pula dari Hinata.

"I-iya, a-aku datang lagi membawakan Naruto bekal, Ino-san." Meski telah belajar tentang kepercayaan diri seperti yang tertera di atas, entah mengapa gaya bicaranya yang sering tergagap itu sama sekali tida berubah.

"Yo, Hinata-chan! Kali ini kau membuat apa? Rasanya lebih banyak dari kemarin." Naruto menghampiri
Hinata seraya memandangi bungkusan yang masih menggantung setia di tangan gadis itu.

"Sa-sama seperti kemarin, hanya saja kali ini aku menambahkan beberapa kue kering di dalamnya." Jawab Hinata masih dengan gagapnya beserta rona merah di wajahnya.

"Kalau Hinata sudah datang, berarti waktu makan siang sudah tiba. Hoahm, aku mau tidur dulu sebentar." Hinata tersenyum tipis mendengar kalimat Shikamaru yang seolah menjadikannya sebuah alarm makan siang.

"Aku juga sudah lapar sekali. Hinata, kau mau makan sebungkus kripik?" Tawar Chouji yang dibalas dengan gelengan pelan dari Hinata, Hinata tahu bahwa pemuda gemuk itu tidak sepenuh hati menawarkan kripiknya padanya.

"Hinata benar-benar pandai memasak ya, tidak seperti gadis manja yang lebih senang membeli bekal siap saji di toko." Kali ini Sai yang berucap santai dengan senyum palsu di wajahnya, dari kalimatnya saja semua tahu bahwa ia sedang menyindir seseorang.

"Diam kau, Sai! Atau kurobek bibirmu yang selalu tersenyum palsu itu!" Aaa, ternyata yang disinggung itu adalah Ino.

"Baiklah, kalau begitu kita istirahat dulu. Kau juga ikut makan siang bersama kami 'kan, Hinata?" Kali ini Sakura lah yang menyapa Hinata.

"Ti-tidak, Sakura-san. A-aku sudah makan di rumah tadi." Jelas Hinata.

"Aaa, sayang sekali. Baiklah, mari makan!" Sakura berujar riang seraya mengeluarkan tempat bekal dari tas mungilnya.

"Kau membuat bekalmu sendiri, Jidat? Setahuku kau sama sekali tidak tahu memasak." Ino bertanya seraya memandangan Sakura curiga.

"Diam kau, Pig! Kau kan tidak tahu kalau aku mengikuti kursus memasak akhir-akhir ini." Jawab Sakura dengan senyum yang entah mengapa terlihat dipaksakan.

"Heh? Bukannya kau selau sibuk mengurusi pas-"

"Kau hanya tidak memperhatikan," potong Sakura cepat.

"Woaa, itu masakan Sakura-chan? Bolehkah aku mencobanya?" Naruto lantas bertanya dengan wajah cerianya, membuat Hinata merasakan firasat buruk seketika.

"Eh? Boleh sih, hanya saja mungkin rasanya hambar. Aku belum terlalu pandai memasak," ujar Sakura sedikit ragu, bagaimanapun ia takut kalau saja masakannya tidak cocok di lidah Naruto.

"Hontou ka?" Naruto kembali bertanya meminta kepastian.

"Tentu saja, kau bisa menghabiskannya kalau mau. Aku sudah kenyang," jawab Sakura seraya tersenyum, gadis yang mempunyai tenaga besar itu memang belum merasakan lapar sama sekali.

"Wahh! Sudah lama aku ingin merasakan masakan buatan Sakura-chan, itadakimasu!"
Hinata tidak tahu lagi apakah dirinya segitu tidak berartinya di mata Naruto sehingga pemuda itu tega meletakkan begitu saja bekal buatannya di atas tanah yang berlapiskan salju setelah hampir menyentuhnya, ataukah pemuda itu memang tidak peka karena rasa cintanya pada Sakura? Entahlah.

"Naruto, kau..." Hinata mendengar Ino bersuara, hendak mengucapkan sebuah kalimat yang tampaknya tertahan di bibir mungilnya.

"Ada apa, Ino?" Tanya Naruto dengan nada polos seolah ia tidak melakukan apapun.

"Tidak, tidak ada apa." Jawab Ino pada akhirnya.

"Sepertinya enak, boleh aku mencicipinya, Naruto?" Chouji yang memang sangat suka makan itu mula tertarik melihat Naruto makan dengan lahapnya.

"Tidak boleh! Masakan Sakura-chan hanya aku saja yang boleh mencicipinya!" Naruto menjulurkan lidah seraya kembali memakan bekal buatan Sakura.

"Kalau begitu bolehkah aku memakan bekal buatan Hinata?" Kali ini Shikamaru lah yang bertanya dengan nada yang sedikit bosan.

"Ng? Ya, silahkan saja."

Udara dingin yang semula sama sekali tidak dirasakan oleh Hinata kini menerpa hatinya, rasanya begitu sakit melihat Naruto yang dengan cueknya memberikan bekal buatannya pada orang lain. Hinata tahu Shikamaru berusaha menolongnya dari rasa malu, tapi tetap saja hatinya begitu sakit mengingat ia telah bersusah payah membuatkan semua itu untuk Naruto.

Padahal dialah yang pertama kali memberikan Naruto bekal, tetapi semua seolah tidak pernah dilakukannya saat Sakura melakukan hal yang sama. Hinata selalu menjadi yang terakhir dalam pandangan Naruto, dan meski ia yang pertama, posisi itu tidak akan bertahan lama.

Sakura, Sakura, Sakura, Sakura. Hinata tidak membenci nama itu, tapi ia membenci keadaan dimana fakta berkata bahwa nama itulah yang disukai oleh Naruto. Sakura yang melambangkan musim semi, dan Naruto yang melambangkan musim panas. Keduanya begitu cocok.

Sedang dirinya? Hinata tahu ia lebih identik dengan musim gugur, musim dimana bunga-bungan berguguran seolah kehilangan harapan. Musim gugur yang menjadi pengantar kematian bagi beberapa tumbuhan. Ya, hanya pengantar, karena mereka akan benar-benar mati saat musim dingin tiba.
.
.
Warning : GAJE, OOC, [miss]TYPO, Canon,dll.
DLDR^^
Disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto
Rated : T
Pairing : SasuHina
Genre : Romance, Hurt/Comfort, Family & Friendship
.
.
Black and White

Hinata menatap langit biru seraya menerawang, udara musim dingin begitu menusuk kulit namun tidak membuatnya beranjak dari tempatnya berada sekarang. Memorinya kembali memutar ulang adegan dua bulan lalu saat dirinya makan siang bersama Naruto di kedai Ichiraku. Moment yang begitu berhaga baginya, tentu saja.

'Bu-bukankah sebentar lagi ulang tahun Naruto-kun?'

'Aaaa! Kau benar, Hinata-chan. Aku hampir lupa dengan hari ulang tahunku sendiri, hehehe.'

'Hmm, a-ano… ja-jadi Naruto-kun mau hadiah apa?'

'Hadiah ya… Saat ini aku tidak membutuhkan hadiah apapun selain kepulangan Sasuke ke Konoha.'

Masih segar dalam ingatan Hinata bagaimana ekspresi Naruto saat mengucapkan kalimat tersebut, jelas bahwa pemuda itu begitu menginginkan kepulangan Sasuke.

Uchiha Sasuke…

Hinata harus kembali mengingat jasa pemuda ini dalam membantu Naruto mengalahkan Madara Uchiha, jasa yang tidak mungkin terlupakan begitu saja. Terlebih saat ia mengetahui rahasia kelam klan Uchiha yang membuat Sasuke menjadi nuke-nin. Sekedar penjelasan, bukan Hinata saja yang tahu mengenai hal ini. Hokage sama telah menjelaskan semuanya pada rakyat Konoha agar mereka bersedia menerima kembali Uchiha Sasuke, yang pada akhirnya sia-sia karena Sasuke kembali meninggalkan Konoha tanpa mengetahui bahwa dirinya sudah kembali menjadi bagian dari desa itu. Pintu maaf terbuka lebar untuknya.

Berbagai cara telah digunakan oleh Naruto dan Sakura, tetapi hasilnya nihil, entah alasan apa yang membuat Sasuke begitu tidak ingin kembali ke desa kelahirannya ini. Membuat Uchiha Sasuke kembali heh? Hal yang sangat mustahil dilakukan oleh Hinata. Hinata tidak pernah serendah ini sebelumnya, tetapi jika Sakura yang lumayan dekat dengan Sasuke saja tidak bisa membuat pria itu kembali, bagaimana dengannya? Impossible.

"Hinata-chan!"

Lamunan Hinata terhenti kala lavender indahnya menangkap sosok Kiba dan Shino berlari-lari kecil menghampirinya, mereka memang janjian untuk bertemu di tempat ini dalam rangka mengerjakan misi yang baru saja diberikan oleh Hokage-sama pada tim mereka.

"Maaf membuatmu menunggu," Shino yang tahu bahwa Hinata sudah berada di tempat itu sejak tadi meminta maaf atas keterlambatannya.

"Ti-tidak masalah."

"Haaahh! Aku tidak habis pikir Hokage-sama memberikan kita misi tidak penting disaat musim dingin begini, keluar rumah saja aku malas." Keluh Kiba.

Hinata tersenyum maklum, misi mereka kali ini memang tidak begitu penting, mencari beberapa jenis tumbuhan yang akan diracik sebagai obat oleh para medic-nin Konoha dengan jumlah masing-masing 400 buah. Misi ini sangat cocok untuk kelompok mereka, serangga Shino akan sangat membantu untuk menemukan tumbuhan tersebut, penciuman Kiba –beserta Akamaru juga sangat membantu dalam hal ini, dan untuk pertahanan, Byakugan milik Hinata lah yang akan berperan penting dalam mendeteksi cakra yang kiranya akan berbahaya untuk mereka.

"Se-sebaiknya kita pergi sekarang, udara semakin dingin. Se-sepertinya akan ada badai salju," ujar Hinata berspekulasi.

"Aku setuju, sebaiknya kita pergi sekarang." Ujar Shino menyetujui.

Dengan malas Kiba mulai mengikuti dua sosok yang lebih dahulu bergerak di hadapannya, Hinata benar, cuaca yang tidak mendukung ini pertanda bahwa badai salju akan segera tiba. Bukan hal yang begitu berbahaya memang –setidaknya untuk mereka bagi para ninja, namun tetap saja akan sangat-sangat merepotkan.
XxXxXxX

Brakk!

Hinata meringis pelan saat punggungnya menghantam batang pohon yang menjulang tinggi di
belakangnya, mata lavendernya lantas menatap ngeri pada sosok yang kini tengah mencekik lehernya pelan. Kiba dan Shino telah ambruk beberapa menit yang lalu, dan yang tersisa kini hanya dia dan sang pelaku yang saling berhadapan memandang satu sama lain.

Tidak pernah Hinata sangka sebelumnya bahwa dalam misi sederhananya kali ini akan mempertemukannya dengan sosok yang paling tidak pernah diduganya. 400 km dari Konoha, baik dirinya maupun Kiba dan Shino melihat sosok itu, sosok yang tengah berdiri membelakangi mereka, sosok Uchiha Sasuke. Mantan Nuke-nin yang paling diharapkan kepulangannya oleh Naruto.

Terbayang bagaimana ekspresi Naruto saat itu, Hinata memutuskan untuk mencoba membujuk pemuda itu kembali ke Konoha. Walau pada akhirnya –dan ia sudah memprediksikan hal ini- akan berakhir dalam sebuah pertarungan. Hinata tahu bahwa Sasuke kuat, tapi ia tidak menyangka akan sekuat ini, bahkan sepertinya kata 'kuat'pun masih belum bisa menggambarkan kekuatan yang dimiliki oleh Uchiha terakhir itu.

Badai salju akan segera tiba sebentar lagi, terbukti dengan semakin banyaknya salju yang bertebaran seolah menjadi latar tersendiri bagi pertemuan Sasuke dan Hinata. Awan begitu mendung, membuat suasana saat itu lumayan gelap karena tidak adanya sinar matahari. Hitam dan putih, langit yang menghitam dan bumi yang putih. Sama seperti dirinya dan Sasuke saat ini. Hitam dan putih.

"Apa yang kalian inginkan, Konoha?"

Hinata bergidik menyadari betapa dinginnya suara itu, ditambah aura kelam yang sejak tadi mengelilingi pria itu. Meski demikian, Hinata tahu bahwa Sasuke bukanlah orang jahat. Tangan pria itu tidak benar-benar mencekiknya, karena ia tidak merasakan sakit pada leher jenjangnya. Hinata tidak tahu apakah Sasuke yang terlalu kuat atau kedua rekannya –Kiba dan Shino yang terlalu lemah, padahal ia tahu bahwa Sasuke hanya menggunakan jurus ringan yang tidak berbahaya, tetapi mereka tetap saja ambruk seperti orang mati.

"A-aku mohon, ke-kembalilah ke Konoha." Hinata berusaha mengeluarkan suaranya, rasanya begitu sulit berbicara di hadapan seorang Uchiha Sasuke terlebih di tengah dinginnya cuaca saat ini.

"Kembali ke Konoha, hn? Apakah ini taktik baru kalian untuk menjebakku? Berkata seolah kalian benar-benar menginginkan kepulanganku?"

Hinata terperangah mendengar kalimat tersebut, setelah apa yang dilakukan oleh pria itu, apakah ia masih berpikir bahwa dunia masih membencinya?

"Ka-kau salah, Na-Naruto-kun, Sakura-san da-dan semua warga Konoha menginginkan kepulanganmu." Ujar Hinata berusaha meyakinkan pemuda di hadapannya ini.

"Kalian akan menerimaku begitu saja?" lagi, suara itu terdengar begitu dingin dan meremehkan, seolah kelimat yang baru saja diucapkan oleh Hinata adalah kalimat termustahil yang pernah didengarnya.

"Ka-kami sudah mengetahuinya, U-Uchiha-san. A-aku dan semua warga Konoha tahu, te-tentang alasan kau meninggalkan Konoha."

"Kalian tahu apa, hah?"

"Akhh!" Hinata meringis saat merasakan cengkraman di lehernya kian mengerat hingga menimbulkan rasa sakit, meski pada akhirnya pemilik tangannya itu kembali melonggarkan cengkramannya.

"U-Uchiha Itachi."

DEG.

Wajah Sasuke tampak menegang saat mendengar nama itu keluar dari bibir Hinata.

"Ho-Hokage-sama telah memberitahu kami tentang semua pengorbanan Itachi, a-alasan mengapa ia membantai klan Uchiha, meninggalkan Konoha da-dan menjadi anggoa Akatsuki."

"…"

"Se-semua itu cukup menjelaskan alasan mengapa kau berniat menghancurkan Konoha. Ka-kami turut berduka, U-Uchiha-san. Da-dan karena kami tidak bisa mengubah masa lalu kelam itu, satu-satunya yang bisa kami perbuat untuk membalas kebaikan Uchiha Itachi hanya dengan menerimamu kembali pulang ke Konoha."

"Ck, hanya itu? Kalian mungkin hanya berkata di mulut saja," Sasuke mendecih pelan seraya menatap sosok Hinata tajam.

"Ti-tidak! Ka-kau tidak tahu bagaimana Na-Naruto-kun dan Hokage-sama berusaha mati-matian untuk menghapus status nuke-nin yang melekat padamu, dan kau harus tahu bagaimana warga Konoha berusaha membangun kembali kompleks kediaman Uchiha dengan harapan kau akan pulang dan membangun kembali klan Uchiha. Se-semua itu karena mereka tulus menginginkan kepulanganmu."

"Mereka semua akan melakukan apapun agar kau mau kembali ke Konoha." Kali ini Hinata benar-benar memasang tampang serius, demi meyakinkan Uchiha Sasuke agar kembali ke desa kelahirannya.

"Pulanglah." Sasuke melepas cengkramannya pada leher Hinata, kemudian berbalik arah dan hendak
meninggalkan gadis itu walau pada akhirnya tangan gadis itu berhasil menahannya.

"Tidak! Ku-kumohon, Uchiha-san. Kumohon, kembalilah ke Konoha. A-aku akan melakukan apapun a-asal kau bersedia kembali."

Hinata tidak peduli lagi akan apa yang tengah diperbuatnya saat ini, memeluk seorang Uchiha Sasuke serta meraung-raung memohon agar pemuda itu mengabulkan permintaannya. Tidak ada cara lain, hanya ini satu-satunya kesempatan baginya untuk membahagiakan Naruto, membuat pemuda pirang itu tersenyum dan mulai menatapnya.

Sasuke terdiam seolah mempertimbangkan apa yang baru saja diucapkan oleh Hinata, sedang gadis yang tengah memeluknya kini juga terdiam meski batinnya terus mengucapkan permohonan pada Kami-sama.

"Angkat wajahmu, Hyuuga Hinata."

Hinata membelalak terkejut saat Uchiha Sasuke menyebut namanya, ia sama sekali tidak menyangka bahwa pemuda itu mengetahui namanya. Sejujurnya ia berharap sebaliknya, agar kelak ia tidak usah berurusan dengan pria itu lagi.

"Hanya klan Hyuuga yang memiliki mata bening sepertimu, dan kedua rekanmu tadi memanggilmu Hinata." Seolah tahu apa yang ada dalam pikiran Hinata, Sasuke mengutarakan mengapa ia bisa mengetahui nama Hinata.

"Aku akan kembali ke Konoha, dengan satu syarat."

Seolah mendapatkan kembali harapannya yang telah lama hilang, senyum Hinata mengembang begitu saja. Lavender indahnya lantas memandang sosok Sasuke dengan pandangan terimakasih yang sangat mendalam.

"A-aku akan melakukan apapun." Takut Sasuke akan berubah pikiran, Hinata menjawab dengan cepat tawaran Sasuke sebelumnya.

"Kau. Hyuuga Hinata. Akan membantuku membangun kembali klan Uchiha."

DEG.

XxXxXxX

Dua minggu berlalu sejak kepulangan Sasuke ke Konoha, dan sampai saat ini pemuda bernama Uzumaki Naruto masih tidak bisa menyembunyikan senyum kebahagiaan yang terus tertera di wajah tampannya. Naruto tidak menyangka, sama sekali tidak menyangka. Dua minggu yang lalu ia bersama Sakura dipanggil ke ruang Hokage, dan di sanalah ia untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu ini kembali melihat wajah sahabatnya, Sasuke.

Menurut penuturan Hokage, Tim delapan lah –khususnya Hinata- yang telah berhasil membujuk pria itu untuk kembali ke Konoha. Merasa aneh karena orang yang bersangkutan –Hinata- justru terlihat murung, Naruto mengabaikan keanehan itu dan lebih memilih untuk berbahagia karena kepulangan Sasuke.

Hingga dua minggu berlalu barulah Naruto sadar, tepatnya saat ia kembali berlatih di tempat latihan tim tujuh seperti biasanya.

"Haahh, kenapa Sasuke tidak mau berlatih di tempat ini ya?" Sakura memulai pembicaraan saat kedua tim yang berlatih di tempat itu tengah menikmati makan siang mereka.

"Kau lupa, Jidat? Sasuke 'kan tidak menyukai keramaian." Ujar Ino menimpali.

"Si Teme bilang dia lebih senang berlatih sendiri di hutan dekat kompleks Uchiha." Ujar Naruto kemudian.

"Sou ka…"

Hening… keenam sosok yang berada di tempat itu tampak sibuk dengan aktifitas masing-masing.

"Ng… rasanya ada yang aneh," Chouji tiba-tiba saja berujar seraya mengeluarkan mimik wajah yang tengah berpikir keras.

"Ya, aku juga merasa begitu," sambung Ino kemudian.

Tap… tap… tap…

Derap langkah yang terdengar begitu tergesa-gesa menyapa indera pendengaran mereka, beberapa detik kemudian tampaklah Hyuuga Hinata yang sedang berlari-lari kecil dengan bungkusan sederhana di tangannya.

"Ah!" Seru Ino dan Chouji bersamaan.

"Eh?" lagi-lagi keduanya berseru bersamaan saat sosok Hinata menghilang dari pandangan mereka bahkan tanpa menoleh sedikitpun.

"Aku tahu! Pantas saja terasa aneh, sejak kapan Hinata berhenti membuatkanmu bekal?" cerocos Ino kemudian, aquamarine miliknya lantas menatap Naruto dengan rasa ingin tahu.

Naruto terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Ino.

"A-aku tidak tahu…" Ya, Naruto memang tidak tahu, tiba-tiba saja Hinata tidak lagi mendatanginya dan membuatkannya bekal makan siang. Inilah keanehan yang dirasanya semenjak kedatangan Sasuke, apakah ini ada hubungannya dengan Sasuke?

Entahlah. Awalnya Naruto sama sekali tidak merasakan apapun, tetapi seiring dengan keanehan yang dirasakannya, ia kini sadar bahwa ia merasa kehilangan. Kealpaan Hinata disetiap latihan paginya membuatnya terasa ganjil, rasanya ada yang hilang dari dirinya.

Sementara Naruto terdiam dengan semua kegalauannya, Sakura lantas menatap pemuda itu dengan tatapan yang sulit diartikan, antara khawatir, sedih dan sebagainya. Sakura tahu bahwa Naruto mulai menyadari arti kehadiran Hinata di sisinya, dan jujur saja, itulah hal yang paling ditakutkannya setelah perasaannya mulai tumbuh pada pemuda berambut pirang tersebut.

XxXxXxX

Hinata mengatur nafasnya sebelum melangkah mendekati sosok pemuda yang sedang beristirahat di salah satu batang pohon maple yang memutih karena tertutup salju, wajahnya jelas menampakkan ketakutan karena tahu kesalahan apa yang diperbuatnya.

"Kau terlambat."

"Go-gomen." Hinata tertunduk saat mendengar suara dingin tersebut, dan meski ia tidak melihatnya, Hinata yakin bahwa Sasuke tengah menatapnya saat ini.

"Kemarilah, aku lapar." Berusaha tidak menakuti Hinata, Sasuke setidaknya memperlembut nada suaranya, pemuda itu lantas menggeser posisinya dan memberi isyarat pada Hinata agar gadis itu duduk di sebelahnya.

Dengan wajah merona –tentu saja, Hinata pun melangkah mendekat dan mulai mendudukkan dirinya di sebelah Sasuke, tangan mungilnya lalu menyodorkan sekotak bento pada pemuda di sebelahnya tersebut.

Hinata memang terlambat, tidak, lebih tepatnya sangat terlambat. Jika dulu ia hanya akan datang saat waktu makan siang tiba untuk memberikan Naruto bekal, kali ini berbeda. Sasuke berkata bahwa ia adalah gadis lemah, dan oleh karenanya pemuda itu menawarkan untuk menjadi pelatihnya sementara sebagai konsekuensi dari bekal yang dibuatkan oleh Hinata.

Ya, pertukaran setara. Sasuke melatihnya dan Hinata membuatkan pemuda itu makan siang. Walau pemuda itu sangatlah dingin dan bertolak belakang dengan Naruto, tetapi Hinata tidak memungkiri bahwa ia jauh merasa lebih nyaman dengannya, semua pelatihan Sasuke juga dapat diterimanya dengan baik, dan Hinata cukup merasakan efeknya.

"Kau tidak lupa dengan perjanjian kita bukan?"

"Y-ya."

"…"

"Ta-tapi a-aku belum memberitahu keluargaku." Sasuke mengernyit saat mendengar kalimat terakhir Hinata.

"Kenapa?"

"A-aku belum siap." Hinata tertunduk dengan wajah yang memerah, bagaimana mungkin ia tiba-tiba saja memberitahu keluarganya bahwa ia akan menikah dengan Uchiha Sasuke? Sejauh ini, hanya Hokage lah yang tahu mengenai perjanjian mereka. Atas permintaan Hinata, Hokage setuju untuk tidak memberitahu siapapun dulu sebelum Hinata mengatakan semuanya pada keluarganya, termasuk Naruto.

Sasuke mengangkat dagu Hinata yang sejak tadi menunduk dalam, membuat lavender gadis itu bertemu pandangan dengan onyx miliknya. Kontan saja wajah Hinata terlihat semakin memerah, bersamaan dengan itu Hinata juga menyadari bahwa sosok yang tengah menatapnya ini benar-benar memiliki rupa seperti malaikat.

"Akhir musim dingin ini kita menikah."

"Eh? Ke-kena-"

"Kau harus tinggal bersamaku. Aku tidak mungkin hidup hanya dengan makan siang saja."

Hinata terperangah saat melihat Sasuke yang tengah mengalihkan wajahnya demi menyembunyikan rona merah yang tertera di wajah tampat tersebut, kalimat terakhir yang diucapkan oleh pria itu… benar-benar tidak romantis!

Secara tidak langsung Sasuke menginginkan agar Hinata memasak untuknya, tapi sepertinya pria itu kurang tahu bagaimana cara untuk mengungkapkan hal itu dengan benar. Hinata sadar Sasuke bukanlah pria yang bisa mengeluarkan apa saja yang ada dalam pikirannya seperti Naruto, dan hal itu entah mengapa terasa lucu bagi Hinata.

"Hmmphh! Hihihihi," Hinata berusaha untuk tidak tertawa lebih besar lagi, tetapi saat mengingat kalimat Sasuke serat rona wajah pria itu mau tidak mau membuatnya harus berusaha lebih keras lagi agar tidak ketahuan bahwa ia sedang menertawakan pemuda itu.

Di sisi lain, tanpa sepengetahuan Hinata, Sasuke yang tadinya mengalihkan wajahnya kini berbalik menatap Hinata lembut. Ini pertama kalinya Sasuke melihat Hinata tertawa jika berada di dekatnya, biasanya gadis itu akan menunduk dengan suara bergetar seolah-olah dia -Sasuke akan menyerangnya kapanpun ia lengah.

"Teruslah tertawa, aku menyukainya."

"Eh?" Tawa Hinata terhenti tergantikan oleh rona merah yang kian menjalari pipi mulusnya, gadis itu tertunduk malu menyadari bahwa Sasuke tengah menatapnya sejak tadi.

"Aku ingin beristirahat sebentar." Tanpa pemberitahuan sebelumnya, Sasuke merebahkan kepalanya di atas pangkuan Hinata, membuat gadis itu terkejut untuk yang kesekian kalinya.

Hinata masih sangat terkejut sehingga tidak mengatakan apapun, rasanya jantungnya berdetak dua kali lebih cepat seiring dengan keberadaan kepala Sasuke di pangkuannya, dan Hinata sadar bahwa ia menyukai sensasi itu. Lavendernya lantas menatap lembut pada sosok Sasuke yang telah memejamkan matanya, sebentar lagi ia akan menjadi milik dari sosok yang tengah berada dalam pangkuannya ini. Mungkin, ini sudah saatnya ia benar-benar melupakan keberadaan Naruto di hatinya.

Seraya tersenyum lembut, Hinata lantas mencoba memejamkan kedua manik bening keunguan miliknya, menikmati sensai dingin dari salju yang menyelimuti sekitar mereka, juga sensasi hangat yang ditimbulkan oleh keberadaan Sasuke di sisinya.

Sasuke sendiri belum benar-benar terlelap, pemuda itu tengah mengingat kembali saat pertama kali ia bertemu Hinata di hutan yang entah apa namanya. Sasuke tidak tahu apa yang membuatnya mengajukan syarat yang terdengar konyol tersebut, ia tidak pernah berinteraksi sebelumnya dengan gadis itu, bahkan selama ia masih tinggal di Konoha dulu.

Sasuke benci orang lemah, tetapi tidak dengan Hinata. Untuk pertama kalinya Sasuke merasa ingin melindungi seseorang karena kelemahannya, dan jalan terbaik ialah dengan memilikinya. Ada sesuatu dalam diri Sasuke yang begitu ingin memiliki gadis itu, meski baru pertama kali bertemu, Hinata telah dengan sukses menarik perhatiannya.

Berada lebih dekat dengan Hinata selama beberapa minggu ini lantas membuat Sasuke sadar, bahwa ia telah terperangkap dalam pesona gadis itu. Mungkin terdengar konyol, tapi Sasuke mengakui bahwa ia jatuh cinta pada Hinata sejak pertemuan mereka di hutan beberapa waktu lalu.

Ia tidak menyesal mengajukan syarat itu pada Hinata, bahkan bersyukur karena yang membujuknya di hutan itu adalah Hinata. Sasuke tidak pernah merasa senyaman ini dengan seorang gadis sebelumnya, ia bahkan menginginkan agar gadis ini selalu berada di sisinya setiap saat.

Beberapa ekor burung liar hinggap di salah satu ranting pohon tempat keduanya beristirahat, membuat salju yang sebelumnya menyelimuti ranting tersebut berjatuhan dan mengenai wajah Hinata maupun Sasuke. Tidak ada yang membuka kedua matanya, mengabaikan butiran-butiran salju yang mulai meleleh di rambut mereka, keduanya lebih memilih untuk tetap memejamkan mata dan menikmati kebersamaan yang terasa hangat bagaikan musim semi itu.

XxXxXxX

Hiashi membelalakkan kedua pupil beningnya saat mendengar penuturan putri sulungnya, raut keyakinan jelas terpancar dari lavender Hinata, dan ini adalah pertama kalinya Hiashi melihatnya.

"Jangan bercanda, Hinata." Mencoba untuk tetap tenang, Hiashi berharap bahwa apa yang baru saja diucapkan oleh putri bungsunya tersebut hanyalah gurauan belaka.

"Aku serius, Tou-sama. Aku akan menikah dengan Uchiha Sasuke." Lihat, bahkan Hinata tidak berbicara dengan gugup seperti biasanya.

Hiashi memejamkan matanya, menarik napas panjang kemudian menghembuskannya. Mata bening miliknya lantas kembali memandang Hinata tajam, seolah menyuruh Hinata untuk menarik kata-katanya.

"Aku tidak setuju." Untuk kali ini, hanya kalimat itulah yang bisa keluar dari bibirnya.

"Maafkan aku, Tou-sama. Tapi aku sudah berjanji padanya, seorang Hyuuga tidak akan mengingkari janjinya. Mohon Tou-sama memakluminya." Kali ini Hiashi cukup tersentak mendengar nada tegas yang keluar dari bibir Hinata, ia tidak pernah tahu bahwa putrinya yang disangkanya lemah itu dapat mengeluarkan kalimat dengan nada ketegasan layaknya seorang pemimpin.

"Jangan memikirkan dirimu sendiri, Hinata! Kau mempunyai tanggung jawab pada klan!" hilang sudah kesabaran Hiashi, pemimpin klan itu kini tidak segan-segan lagi membentak putri sulungnya.

"Aku melakukan semua ini demi klan, Tou-sama. Aku tahu kalian tidak bisa menerimaku sebagai pewaris Souke. Dengan aku menjadi Uchiha, Hanabi bisa terlepas dari beban Bunke yang akan disandangnya kelak. Tou-sama juga tidak perlu repot lagi memikirkan berbagai alasan untuk melepas hak warisku."

Hinata mengutarakan pikirannya dengan begitu tenang, bahkan terlalu tenang sehingga membuat Hiashi lagi-lagi terkejut. Walau secara tidak langsung, Hinata kini tengah mengungkapkan bagaimana tersiksanya dia yang selama ini selalu dipandang remeh oleh klan, dan Hiashi cukup merasa bersalah akan hal itu.

"Aku akan menikah dengan Uchiha Sasuke apapun yang terjadi. Aku permisi dulu, Tou-sama." Bersamaan dengan kalimat terakhirnya tersebut, Hinata melangkah keluar dari ruang pribadi Hiashi menuju kamar pribadinya.

Tidak dapat ia pungkiri bahwa hatinya begitu sakit saat mengutarakan kenyataan tersebut, ia tahu bahwa para tetua klan berusaha agar hak warisnya dialihkan pada Hanabi, walau itu adalah hal mustahil karena Hinata lah anak pertama dari Hyuuga Hiashi.

Hinata berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa inilah keputusan terbaik bagi dirinya dan klan, ia akan memulai segala sesuatunya dari awal bersama Uchiha Sasuke. Meski harus berlinang air mata, Hinata akan tetap teguh pada keputusannya, melepaskan marga Hyuuga yang melekat pada dirinya.


Beberapa menit setelah kepergian Hinata, Hiashi masih memandangi tempat dimana Hinata berada sebelumnya. Mungkin ini salahnya karena terlalu termakan oleh kata-kata tetua klan sehingga ia mengabaikan perasaan Hinata.

Bukan salah Hinata jika putri sulungnya itu berpikir bahwa ia sama sekali tidak menyayanginya dan lebih mementingkan Hanabi, bukan salah Hinata pula jika gadis itu juga berpikir bahwa ia akan mengalihkan hak warisnya pada Hanabi. Itu semua adalah salahnya.

Tapi sungguh demi apapun, Hiashi sama sekali tidak pernah berpikir untuk menjadikan Hanabi sebagai pengganti Hinata. Ia tahu bahwa Hinata tidak bisa memimpin klan seorang diri, dan oleh karenanya ia berencana untuk menjodohkan Hinata dengan Neji. Neji akan mampu membimbing Hinata, dan tidak akan ada masalah dengan hal itu. Hanabi sendiri tidak pernah mempermasalahkan apakah pada akhirnya ia menjadi Bunke atau Souke, takdir telah menetapkannya sejak awal.

Hiashi melatih Hanabi, dengan harapan putri bungsunya itu menjadi Bunke yang dapat diandalkan dan melindungi kakaknya dengan sekuat tenaga. Hiashi tahu bahwa Hinata lemah, oleh karena itu ia akan berusaha membuat Hinata dikelilingi dengan sosok-sosok yang dapat diandalkannya. Jika ia tidak bisa membuat Hinata menjadi lebih kuat, maka ia akan membuat orang-orang yang berada di sekeliling Hinata menjadi lebih kuat. Hiashi akan melakukan apapun agar Hinata mendapat perlindungan, meski tidak ada yang tahu tentang jalan pikirannya tersebut.

Menikah dengan Uchiha, hal itu berarti bahwa Hinata akan melepas marga Hyuuga dan meninggalkan klan. Tidak! Hiashi tahu bahwa cepat atau lambat Hinata akan menikah, tapi ia tidak pernah menyangka bahwa putrinya itu akan memilih untuk menikahi orang asing yang bukan anggota klan
Hyuuga.

Hiashi tidak pernah sanggup melepas Hinata, karena hanya Hinata dan Hanabi lah yang merupakan peninggalan berharga dari almarhumah istrinya. Menjadi Istri Uchiha Sasuke akan membuat Hinata terlepas darinya. Hiashi tidak akan lagi melihat wajah putrinya di pagi hari, menikmati sarapan yang disiapkan olehnya, ataupun memandangi rupa putri sulungnya yang merupakan kopian sempurna dari wajah istrinya.

Tidak, bukan itu yang diinginkan Hiashi. Ia hanya ingin agar baik Hinata maupun Hanabi tetap berada di sisinya terlepas dari status Souke dan Bunke. Hiashi tidak ingin kehilangan salah satunya, tidak akan pernah.

"Tou-sama."

Hiashi menoleh saat mendengar suara Hanabi yang memanggilnya, wajah sendunya lantas tersenyum karena tahu bahwa putri bungsunya itu pasti telah mendengar percakapannya dengan Hinata tadi.

"Ayah serahkan padamu, Hanabi. Berusahalah agar kakakmu tidak meninggalkan klan."

XxXxXxX

"Hanabi…" Hinata menggumamkan nama dari sosok yang baru saja memasuki kamar pribadinya bahkan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.

 "Katakan Nee-san, apa kau benar-benar akan meninggalkan klan Hyuuga?" Hanabi menatap tajam sosok Hinata, berdiri tegak di hadapan gadis itu dan berbicara dengan lantang layaknya ayahnya.

"Aku tidak akan meninggalkan klan Hyuuga," jawab Hinata tenang, wajah cantiknya memamerkan seulas senyuman.

"Lalu apa yang Nee-san maksud dengan menikah dengan Uchiha Sasuke?"

Sudah Hinata duga, Hanabi pasti sudah mengetahuinya.

"Mengganti marga bukan berarti meninggalkan klan, Hana-chan. Sampai mati pun aku tetap murni berdarah Hyuuga." Lagi, Hinata mencoba menjawab dengan nada setenang mungkin.

"Tapi kau melepaskan hak warismu! Kau melepaskan begitu saja tanggung jawabmu!" Lagi, Hanabi menatap sosok Hinata tajam, tidak dapat dipungkiri ia begitu kecewa dengan keputusan Hinata.

"Tidak, sejak awal bukan aku yang akan menjadi pewaris Hyuuga. Ini yang terbaik untuk kita, kau tidak akan menjadi Bunke seperti Neji-nii." Hinata memandang sayu sosok adik yang berdiri di hadapannya, berusaha menyampaikan seluruh isi hatinya.

"Aku tidak perlu itu! Sejak awal aku ditakdirkan untuk menjadi Bunke, dan aku tidak pernah ingin mengubahnya. Nee-san lah yang akan memimpin klan ini." Berusaha tidak terisak, Hanabi menggigit kuat bibir bawahnya. Bagaimanapun juga ia tidak ingin Hinata meninggalkannya.

"Tapi aku tidak mau melihatmu menjadi Bunke, Hana-chan. Aku tidak mau orang-orang di luar sana memandang kita berbeda. Mereka memujaku dan sebaliknya memandang remeh dirimu hanya karena kau golongan Bunke, golongan rendahan klan Hyuuga, padahal kita berasal dari orang tua yang sama, darah yang sama!"

"Nee-"

"Cukup aku saja yang merasakannya, Hana-chan." Hinata menunduk berusaha menyembunyikan raut kesedihannya tatkala mengingat bagaimana para anggota klan memperlakukannya.

"Nee-san pikir aku tidak tersiksa melihat orang-orang di sekitar kita meremehkanmu? Bahkan Tou-san juga melakukannya. Meski aku ditakdirkan menjadi Bunke, aku tetaplah adikmu. Aku yang akan menjadi kuat demi Nee-san, aku yang akan melindungi Nee-san, aku yang akan mendorong Nee-san dari dalam demi menjadi pemimpin yang baik bagi klan kita." Perlahan tapi pasti, Hanabi mulai berjalan mendekati Hinata yang masih tertunduk, direngkuhnya tubuh kakaknya erat seraya berusaha memahami apa yang masing-masing dari mereka rasakan.

"Aku mohon, tetaplah di sini, Nee-san."
Hiashi berjalan perlahan mendekati sosok putri bungsunya yang tengah melamun seraya memandang langit yang diliputi cahaya matahari senja, pria berkepala empat tersebut lantas mendudukkan dirinya di sebelah Hanabi.

"Hinata-nee akan meninggalkan kita, aku tidak bisa melakukan apapun."

Hiashi menangkap nada pilu dalam kalimat tersebut, ia tahu bahwa Hanabi tengah menangis dalam diam. Bagi sebagian besar orang, mereka berpikir bahwa keduanya sama sekali tidak peduli pada Hinata. Tapi anggapan itu salah total, keduanyalah yang paling membutuhkan Hinata. Hinata adalah sosok kakak sekaligus ibu bagi Hanabi, dan Hinata adalah sosok penjelmaan serta harta peninggalan dari almarhumah sang istri bagi Hiashi. Namun keadaan menuntut mereka untuk berlaku sebaliknya, dan hal itulah yang paling disesali keduanya saat ini.

"Apa yang dia katakan?" Untuk pertama kali Hiashi mulai mengeluarkan suaranya.

Hanabi tersenyum miris seraya memandang wajah tegas milik ayahnya.

"Nee-san bilang, dia tidak bisa meninggalkan Uchiha terakhir itu. Neesan juga bilang, bahwa ini adalah pertama kalinya dia merasa benar-benar dibutuhkan oleh seseorang."

Hiashi menarik nafas sejenak sebelum akhirnya ikut tersenyum miris seraya memandangi langit sore.
"Hinata hanya tidak tahu, bahwa kita lah yang paling membutuhkannya."

XxXxXxX

Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam, waktu yang masih sangat awal untuk memasuki alam mimpi. Tetapi kelelahan yang dirasakan Hinata memaksanya untuk tidur saat itu juga, sayangnya sebuah ketukan kasar dari pintu kamarnya mengganggu indera pendengarannya saat ia baru saja memejamkan kedua matanya beberapa menit.

"Nee-san! Nee-san!"

Tanpa membuang waktu lagi, terlebih saat mendengar suara Hanabi yang memanggilnya dengan nada yang penuh kecemasan, Hinata segera berlari dan membuka pintu kamarnya. Lavender indahnya kontan menangkap sosok Hanabi yang tengah memandangnya penuh kekhawatiran.

"Tou-sama!" Hinata mulai panik saat Hanabi menyebut kata 'Tou-sama', sebagai seorang anak ia tentu khawatir akan keadaan ayahnya.

"Ada apa dengan Tou-sama?" Hinata lantas bertanya dengan nada yang juga diliputi kecemasan.

"Beberapa menit yang lalu Tou-sama pergi menuju kediaman Uchiha seorang diri, aku mengetahuinya karena seseorang melihatnya berjalan menuju kompleks Uchiha!"

Hinata terbelalak mendengar penuturan Hanabi, apa yang ayahnya lakukan di kediaman Uchiha? Hinata tidak ingin berpikiran negatif, tetapi tetap saja khawatir akan terjadi hal yang tidak diinginkan mengingat kejadian sore tadi.

"Aku akan segera ke sana!"

Setelah mencuci wajahnya terlebih dahulu, Hinata sesegera mungkin menyusul Hiashi menuju kompleks Uchiha. Bagaimanapun keduanya adalah sosok yang minim bicara, dan Hinata takut akan terjadi kesalahpahaman karena hal itu.

"Tou-sama!" Mengabaikan tata karma, Hinata masuk begitu saja ke dalam rumah Uchiha Sasuke. Lavender indahnya lantas membulat sempurna saat mendapati sosok ayahnya yang kini berlutut tepat di hadapan Sasuke.

Dapat Hinata lihat raut keterkejutan juga terpatri di wajah Sasuke, bagaimanapun tak seorangpun akan menyangka sosok pemimpin klan Hyuuga yang terhormat itu akan berlutut begitu saja di hadapan seseorang.

"Tou-"

"Kumohon…" Langkah Hinata terhenti saat mendengar suara Hiashi, baik ia maupun Sasuke kini memandang ke arah pria pemimpin klan Hyuuga tersebut.

"Kumohon, ini permintaanku satu-satunya. Jaga putriku sebaik mungkin, dan lindungi dia seperti kau melindungi nyawamu."

Baik Hinata maupun Sasuke selanjutnya hanya bisa terperangah mendengar kalimat memohon yang terlontar dari bibir Hiashi Hyuuga.
.
.
.
To be Continue

P.S : this fanfiction is not mine!!
It's belong to an author but I didn't know his/her pen name :(
I'm sorry for uploaded this fic without ur permission T^T


3 komentar:

  1. Maaf, tolong minta izin dulu kpda pmilimby sblum di copas...
    Aori Yuu

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya maaf sebelumnya... sya mau minta izin tpi ga tau alamat email authornya... maaf banget..

      Hapus
  2. Ahaha keren banget tapi kalo bisa diperpanjang lah ane malas kalo baca setengah"

    BalasHapus